Filsuf eksistensialis Jean Paul Sartre lahir di Paris tanggal 21
Juni 1905. Karir filsafatnya baru mendapatkan perhatian yang besar dari public intelektual
setelah ia menulis dan menerbitkan L;etre et le neant. Essau d’ontologie
phenomenologique (1943). Dengan buku ini Sartre menjadi filsuf ternama dan
diidolakan sebagai salah seorang pemimpin gerakan filosofis yang disebuut
eksistesialisme.
Atas sekian banyak tuduhan yang dialamatkan kepadanya, atau
kepada aliran pemikiran yang ia geluti, yaitu Eksistensialisme, Sartre
menanggapinya dengan menggunakan cara menidak,“Eksistensialisme itu
tidak seperti ini dan tidak seperti itu.” Eksistensialisme, misalnya dituduh
sebagai nama lain dari pesimisme, quietism, bahkan filsafat
keputus-asaan yang sama sekali tidak memberikan gambaran yang positif tentang
hidup manusia melainkan sisi gelap dan jahat darinya. Dengan agak berlebihan bahkan Sartre mengatakan bahwa kejelekan atau
keburukan itu diidentikkan dengan eksistentialisme. Dari pihak Komunis, Eksistensialisme juga dituduh sebagai sebuah filsafat
kontemplatif yang
berarti suatu kemewahan dan itu identik dengan filsafat kaum bourgeois.
Dari pihak Katolik, seperti Mlle.Mercier, dilancarkan
tuduhan bahwa eksistensialisme itu hanya menggarisbawahi hal-ihwal yang
memalukan, yang rendah, yang patut dicela, yang menjijikkan dalam situasi
konkret manusia dan Sartre cenderung mengabaikan pesona, keindahan dan hal-hal
yang baik dari kodrat manusia. Lebih jauh lagi, eksistensialisme dianggap
menyangkal realitas dan kesungguhan perikehidupan antar manusia karena ia
mengabaikan Perintah Tuhan dan nilai-nilai yang dalam pandangan Kristen
disakralkan dan dipercaya sebagai abadi. Singkatnya, eksistensialisme itu
melulu voluntary.
Artinya, bahwa tiap orang dapat berbuat semaunya seturut apa yang ia sukai.
Ada lagi yang berkomentar bahwa eksistensialisme itu sama sekali
tidak menyinggung soal solidaritas umat manusia dan menelaah manusia dalam
ke-terisolir-annya. Dan ini, dalam pandangan kaum komunis, dikarenakan
eksistensialisme mendasarkan ajarannya padasubjektivitas
murni—seperti yang diajarkan oleh Descartes dengan cogito-nya—karenanya,
eksistensialisme dengan ego-nya, tidak akan sanggup
menjangkau sesamanya, apalagi berpikir tentang tentang solidaritas.
Namun, apakah memang tepat tuduhan-tuduhan yang dialamatkan
kepada Sartre dan eksistensialisme ini? Bagaimana Sartre membela dirinya dan
membela paham yang ia anut? Pertama, ia sendiri juga menyayangkan bahwa istilah
“eksistensialisme” dipakai secara teramat longgar untuk menamai apa-apa saja
yang tampil sedikit berbeda, dan radikal sehingga istilah “eksistensialisme”
nyaris tidak punya arti apa-apa lagi. Kedua, guna meluruskan salah-kaprah seputar peristilahan dan
aplikasinya, pertama-tama Sartre mulai mendefinisikan eksistensialisme sebagai
suatu ajaran yang menyebabkan hidup manusia itu menjadi mungkin. Selain itu,
eksistensialisme juga merupakan suatu ajaran yang mengafirmasi bahwa setiap
kebenaran dan setiap tindakan itu mengandung di dalamnya sebuah lingkungan dan
suatu subjektivitas manusia. Definisi yang terakhir ini kelak akan ia elaborasi
dengan peristilahan a human universality of condition. Dua definisi yang
baru saja disebut di sini hanyalah awalan saja. Ketiga, definisi Sartre yang
paling terkenal tentang eksistensialisme dirumuskannya sebagai berikut: Bahwa eksistensi itu (hadir) mendahului esensi dan karenanya kita harus mulai dari yang subjektif.
Apa maksud Sartre dengan proposisi ini?
Secara sederhana, Sartre mengambil contoh dari kehidupan
sehari-hari untuk menerangkan maksud dari “bahwa eksistensi itu hadir
mendahului esensi.” Ia mengajak pembaca untuk membayangkan sebuah buku atau
pisau kertas (paper knife). Seorang pembuat pisau kertas, disebut artisan,
tentu mempunyai konsepsi terlebih dahulu di benaknya apa yang mau ia buat,
kegunaannya dan bagaimana prosedur pembuatannya. Esensi dari pisau kertas itu,
yaitu keseluruhan dari rumusan pembuatan (formulae)
serta kualitas-kualitas tertentu yang membuat terproduksinya dan definisinya
menjadi mungkin, mendahului eksistensinya. Dengan kata lain,produksinya mendahului eksistensinya.
Di sini, kita memandang dunia dari sudut pandang teknis. Namun, hal itu berbeda
tatkala kita membayangkan Allah sebagai Sang Pencipta yang berarti
mengatribusikan padaNya kualitas “seorang” supernatural artisan. Apapun
doktrin yang kita anut mengenai penciptaan ini, kita selalu mengandaikan bahwa
tatkala Allah menciptakan, Ia tahu persis apa yang sedang Ia ciptakan. Dengan
begitu, tiap individu manusia adalah realisasi dari konsepsi tertentu
yang berada dalam pengertian ilahi. Dengan begitu, manusia memiliki kodrat
tertentu (human nature). Artinya konsepsi
tentang esensi dirinya, di mana masing-masing manusia adalah sebuah contoh
khusus dari suatu konsepsi universal: konsepsi tentang Manusia, entah ituanimal rationale (Aristoteles),
atau wild
man of the woods (Rousseau), man
in the state of nature(Thomas
Hobbes), dan the bourgeois (Karl
Marx).
Justru pandangan di mana “esensi manusia mendahului
eksistensinya” seperti ini yang keliru dan dikritik tajam oleh Sartre. Bagi
Sartre, jika
Allah tidak eksis, setidaknya ada satu makhluk yang
eksistensinya ada sebelum esensinya, sebuah makhluk yang eksis sebelum ia
dibatasi oleh macam-macam konsepsi tentang eksistensinya itu. Makhluk itu
adalah manusia.
Sekali lagi ditegaskan Sartre bahwa yang dimaksud dengan
“eksistensi mendahului esensi” adalah bahwa pertama-tama manusia itu eksis
(ada, hadir), menjumpai dirinya, muncul (Inggris: surges
up; Jawa: mentas) di dunia dan baru setelah
itu mendefinisikan dirinya itu siapa. Jika manusia sebagai eksistensialis
melihat bahwa dirinya itu belum ditentukan, hal itu adalah karena pada
permulaannya dia itu memang bukan apa-apa (nothing).
Dia tidak akan menjadi apa-apa sampai tiba saatnya ketika ia menjadi apa yang
ia tentukan sendiri. Oleh karenanya, tidak ada itu yang dinamakan kodrat
manusia, sebab tidak ada Allah yang mempunyai konsepsi tentang dia (manusia).
Singkatnya, Manusia adalah.
Pandangan ini mencengangkan, namun inilah prinsip pertama dari
eksistensialisme: Manusia tak lain tak bukan adalah dia yang menentukan dirinya
sendiri mau menjadi apa. Apakah pandangan ini tidak terlalu subyektif? Lalu, di
mana tempat orang lain dalam eksistensi si individu itu? Bagaimana dengan
hal-hal tertentu yang tidak bisa kita tentukan sendiri misalnya: kita lahir di
mana, dalam keluarga apa, dibesarkan dalam lingkungan berbahasa apa, dan
macam-macam hal lainnya?
Mengenai subjektivitas ini, Sartre mengakuinya. Namun bukan
subjektivitas sebagaimana dimaksud oleh para pengkritiknya. Subjektivitas yang
dimaksud Sartre dalam pengertiannya tentang eksistensi adalah bahwa manusia itu
mempunyai martabat yang lebih luhur daripada, katakanlah, batu atau meja.
Subjektivitas yang dimaksud Sartre adalah bahwa manusia pertama-tama eksis bahwa
manusia adalah manusia (man is), sesuatu
yang mendesak, bergerak maju menuju masa depan dan bahwa ia menyadari apa yang
ia lakukan itu. Jika memang benar bahwa eksistensi itu mendahului esensi, maka
manusia itu bertanggungjawab atas mau menjadi apa dia (what
he is). Inilah dampak paling pertama dari eksistensialisme yaitu
bahwa manusia dengan menyadari bahwa kontrol berada penuh di tangannya, ia
memikul beban eksistensinya itu, yaitu tanggungjawab, di pundaknya. Namun hal
ini tidak lantas berarti bahwa ia bertanggungjawab hanya atas individualitasnya
sendiri. Melainkan bahwa ia bertanggungjawab atas semua umat manusia. Kita
tentu bertanya, bagaimana bisa demikian?
Untuk menjawab ini, Sartre mengadakan dua distingsi atas
subyektivisme. Pengertian yang pertama adalah kebebasan subjek individu.
Pengertian kedua adalah bahwa manusia tidak bisa melampaui subjektivitas
kemanusiaannya (human subjectivity). Pengertian
kedua inilah yang pengertian yang lebih mendalam dari eksistensialisme.
Pengertian yang kedua inilah yang memberikan gambaran kepada kita mengenai
sifat dasar manusia yang kreatif, yang terus menerus mencipta dan menjadi apa
yang dia inginkan. Mencipta ini berarti juga memilih dari sekian banyak
kemungkinan-kemungkinan yang terbentang luas di hadapannya. Memilih antara ini
atau itu pada saat yang bersamaan juga berarti mengafirmasi nilai dari apa yang
dipilih. Dan yang kita pilih itu tentu apa yang kita anggap lebih baik, dan
yang lebih baik bagi kita tentu juga kita anggap baik untuk semua.
Tanggungjawab kita lantas terletak pada kualitas pilihan kita ini.
Pilihan-pilihan yang kita buat itu menyangkut kemanusiaan sebagai suatu
keseluruhan.
Daftar Pustaka :
jessicka
kuputri
201471060
Tidak ada komentar:
Posting Komentar