Filsafat Nietzsche adalah filsafat cara memandang 'kebenaran' atau dikenal dengan istilah filsafat perspektivisme. Nietzsche juga dikenal sebagai "sang pembunuh Tuhan" (dalam Also sprach Zarathustra). Ia memprovokasi dan mengkritik kebudayaan Barat di zaman-nya (dengan peninjauan ulang semua nilai dan tradisi atau Umwertung aller Werten) yang sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan tradisi kekristenan (keduanya mengacu kepada paradigma kehidupan setelah kematian, sehingga menurutnya anti dan pesimis terhadap kehidupan). Walaupun demikian dengan kematian Tuhan berikut paradigma kehidupan setelah kematian tersebut, filosofi Nietzsche tidak menjadi sebuah filosofi nihilisme. Justru sebaliknya yaitu sebuah filosofi untuk menaklukan nihilisme berwindung der Nihilismus) dengan mencintai utuh kehidupan (Lebensbejahung), dan memposisikan manusia sebagai manusia purna bermensch dengan kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht).
Selain itu Nietzsche dikenal sebagai filsuf seniman (Knstlerphilosoph) dan banyak mengilhami pelukis moderen Eropa di awal abad ke-20, seperti Franz Marc, Francis Bacon,dan Giorgio de Chirico, juga para penulis seperti Robert Musil, dan Thomas Mann. Menurut Nietzsche kegiatan seni adalah kegiatan metafisik yang memiliki kemampuan untuk me-transformasi-kan tragedi hidup.
Selain itu Nietzsche dikenal sebagai filsuf seniman (Knstlerphilosoph) dan banyak mengilhami pelukis moderen Eropa di awal abad ke-20, seperti Franz Marc, Francis Bacon,dan Giorgio de Chirico, juga para penulis seperti Robert Musil, dan Thomas Mann. Menurut Nietzsche kegiatan seni adalah kegiatan metafisik yang memiliki kemampuan untuk me-transformasi-kan tragedi hidup.
Konsep kehendak untuk berkuasa (the will to power) adalah salah satu
konsep yang paling banyak menarik perhatian dari pemikiran Nietzsche. Dengan
konsep ini ia bisa dikategorikan sebagai seorang pemikir naturalistik (naturalistic thinker), yakni yang
melihat manusia tidak lebih dari sekedar insting-insting alamiahnya (natural instincts) yang mirip dengan
hewan, maupun mahluk hidup lainnya. Nietzsche dengan jelas menyatakan
penolakannya pada berbagai konsep filsafat tradisional, seperti kehendak bebas
(free will), substansi (substance), kesatuan, jiwa, dan
sebagainya. Ia mengajak kita memandang diri kita sendiri sebagai manusia dengan
cara-cara baru. Sebagaimana dicatat oleh Porter, ada tiga konsep dasar yang
mewarnai seluruh pemikiran Nietzsche, yakni penerimaan total pada kontradiksi
hidup, proses transendensi insting-insting alamiah manusia, dan cara memandang
realitas yang menyeluruh (wholism). Pemikiran
tentang kehendak untuk berkuasa terselip serta tersebar di dalam
tulisan-tulisannya sebagai fragmen-fragmen yang terpecah, dan seolah tak punya
hubungan yang cukup jelas. Dari semua fragmen tersebut, menurut Porter, setidaknya
ada tiga pengertian dasar tentang kehendak untuk berkuasa, yakni kehendak untuk
berkuasa sebagai abstraksi dari realitas, sebagai aspek terdalam sekaligus
tertinggi dari realitas (the nature of
reality), dan sebagai realitas itu sendiri apa adanya (reality as such).
Ketiga makna itu bisa disingkat dalam rumusan
berikut, sebagai hakekat terdalam dari alam semesta beserta dengan geraknya
yang dilihat dari sisinya yang paling gelap. Dalam bahasa Nietzsche kehendak
untuk berkuasa adalah “klaim kekuasaan yang paling tiranik, tak punya
pertimbangan, dan tak dapat dihancurkan.”[3]Bisa dikatakan ketika berbicara tentang kehendak untuk berkuasa,
Nietzsche berubah menjadi seorang filsuf monistik, yang melihat realitas
tersusun dari satu unsur terdalam (fundamental
aspect) yang menentukan segalanya. Unsur terdalam itulah yang disebutnya
sebagai kehendak untuk berkuasa. Ini adalah gambaran intuitif realistik tentang
realitas kehidupan manusia, dan kehidupan alam semesta pada umumnya. Dorongan
ini tidak dapat ditahan, apalagi dimusnahkan, karena segala sesuatu yang ada
berasal dari padanya. Jadi seluruh realitas ini, dan segala yang ada di dalamnya,
adalah ledakan sekaligus bentuk lain dari kehendak untuk berkuasa. Ia ada di
dalam kesadaran sekaligus ketidaksadaran manusia. Ia ada di dalam aspek
intelektual sekaligus instingtual manusia. Kehendak untuk berkuasa adalah
dorongan yang mempengaruhi sekaligus membentuk apapun yang ada, sekaligus
merupakan hasil dari semua proses-proses realitas itu sendiri. Semua ini
terjadi tanpa ada satu sosok yang disebut sebagai pencipta, atau subyek agung.
Semua ini adalah gerak realitas itu sendiri yang berjalan mekanis, tanpa
pencipta dan tanpa arah.
Bagi Nietzsche dunia adalah sesuatu yang hampa.
Dunia tak memiliki pencipta, namun bisa hadir dan berkembang dengan kekuatannya
sendiri. Di dalam dunia semacam ini, tidak ada pengetahuan obyektif. Yang
diperlukan untuk memperoleh pengetahuan adalah subyektivitas (subjectivity) dan kemampuan untuk
menafsir (interpretation). Dua
hal ini menurut Nietzsche lahir dari kehendak untuk berkuasa itu sendiri. Dengan
subyektivitas dan kemampuan untuk menafsir, manusia bisa melihat hubungan sebab
akibat (causality) di dalam
dunia. Dengan dua kemampuan ini, manusia bisa menempatkan diri, sekaligus
menempatkan benda-benda yang ada di dalam dunia pada tempat yang semestinya.
Kehendak untuk berkuasa mendorong manusia untuk menjadi subyek yang aktif di
dalam menjalani hidup, sekaligus menjadi penafsir dunia yang memberi makna (meaning) atasnya. Dengan kehendak
untuk berkuasa, manusia bisa menciptakan dan menata dunia. Dalam arti ini dunia
adalah tempat yang bukan-manusia (inhuman).
Dunia menjadi bermakna karena manusia, dengan subyektivitas serta kemampuannya
menafsir, memberinya makna, dan menjadikannya “manusiawi” (human).
Nietzsche terkenal sebagai filsuf yang melihat
dunia secara positif. Ia menyarankan supaya kita memeluk dunia, dengan segala
aspeknya, dan merayakan kehidupan. Dunia dan kehidupan adalah suatu permainan
yang tidak memiliki kebenaran, tidak memiliki awal, serta selalu terbuka untuk
dimaknai dan ditafsirkan. Dunia bukanlah melulu milik manusia untuk dikuasai
dan digunakan, melainkan memiliki nilai pada dirinya sendiri. Dengan kata lain
dunia memiliki nilai kosmik, dan tak semata antropomorfik. Manusia harus
belajar melihat alam tidak melulu dari kaca matanya sendiri, tetapi juga dari
kaca mata alam itu sendiri. Dari kaca mata alam, kehidupan ini sendiri adalah
kehendak untuk berkuasa. Maka kehendak berkuasa adalah “afirmasi yang penuh
suka cita pada hidup itu sendiri.” Hidup memang tak bertujuan dan tak
memiliki nilai. Namun manusia diminta untuk menerima dan merayakannya sepenuh
hati.
Sebagai bagian dari dunia yang dimotori kehendak
untuk berkuasa, manusia pun tidak lagi dipandang sebagai mahluk rasional,
melainkan sebagai mahluk yang hidup dengan rasa dan sensasi-sensasi (sensational being) yang diterimanya
dari dunia. Sensasi itu mendorong manusia untuk mencipta dunia (world-creating activity). Jadi karena
dikelilingi oleh kehendak untuk berkuasa, manusia pun terdorong untuk mencipta
dunia. Tindak mencipta dianggap sebagai dorongan alamiah, dan bahkan kebutuhan
eksistensial manusia. Dalam arti ini manusia bukanlah subyek seutuhnya, karena
ia adalah bentuk konkret saja dari kehendak untuk berkuasa. Manusia adalah
subyek yang bukan subyek. Manusia dan dunia adalah cerminan dari kehendak untuk
berkuasa. Pemahaman Nietzsche tentang ini didapatkan dari pola berpikir
metafisisnya, bahwa hakekat dari sesuatu bisa dilihat dari efek-efek yang
ditimbulkannya. Hakekat dari dunia dan manusia adalah efek-efek yang
ditimbulkannya, yakni penciptaan. Penciptaan hanya mungkin jika entitas
tersebut memiliki kuasa.
Pemikiran Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa
bukanlah sebuah pandangan dunia yang sistematis (systematic worldview). Konsep ini lebih merupakan upayanya untuk
menyibak berbagai situasi di dalam dunia, dan menemukan apa yang menjadi dasar
dari semuanya. Maka konsep ini tidak bisa diperlakukan sebagai konsep
metafisika tradisional, entah sebagai arche di dalam filsafat Yunani Kuno, atau substansi. Menurut
Porter konsep kehendak berkuasa, yang dirumuskan oleh Nietzsche, adalah sebuah
simbol dari kegagalan manusia untuk memahami hakekat terdalam dari realitas.
Artinya pengetahuan manusia itu terbatas, sehingga tak mampu untuk memahami
dunia seutuhnya. Dalam konteks ini Nietzsche kemudian menawarkan sebuah
pemahaman yang lebih “puitis” tentang hakekat dunia yang memang tak bisa
sepenuhnya tertangkap oleh akal budi manusia. Konsep kehendak untuk
berkuasa tidak lahir dari penalaran rasional, tetapi dari imajinasi manusia
yang melihat dan tinggal di dalam dunia. Bisa dibilang bahwa Nietzsche hendak
melepaskan logos sebagai
alat utama manusia untuk memahami dunia, dan menawarkan penjelasan mitologis (mythological explanation) yang lebih
imajinatif, deskriptif, dan kaya di dalam memahami dunia. Akal budi (reason) menyempitkan dunia, sementara
imajinasi dan rasa menangkap kerumitannya, dan merayakannya.
Nietzsche sendiri tidak pernah menyatakan, bahwa
konsepnya tentang kehendak untuk berkuasa adalah suatu mitos. Konsep ini lahir
dan berkembang, ketika ia membahas pemikiran Schopenhauer, bahwa dunia adalah
representasi dari kehendak dan ide manusia (world as will and representation). Walaupun begitu kita
tetap harus membedakan model berpikir dari dua filsuf besar ini. Nietzsche
melihat dunia sebagai kehendak untuk berkuasa, namun bersikap optimis, dan
memilih untuk merayakan kehidupan dengan segala kerumitannya. Sementara
Schopenhauer melihat dunia sebagai kehendak buta, bersikap pesimis, serta
memilih untuk melarikan diri darinya. Dua sikap ini pada hemat saya juga
dapat digunakan untuk memahami mentalitas manusia jaman ini di dalam memandang
kehidupan. Di tengah kehidupan yang tak selalu jelas, ada orang yang
memilih untuk putus asa, dan kemudian bunuh diri, atau melarikan diri ke
berbagai “candu”. Namun ada pula orang yang menanggapi semua itu dengan berani,
dan bahkan merayakan absurditas kehidupan itu sendiri. Sikap yang terakhir
inilah yang disarankan oleh Nietzsche.
Konsep kehendak untuk berkuasa memang bersifat
ambigu, dan mengundang banyak tafsiran. Di satu sisi kehendak untuk berkuasa
adalah inti sari filsafat Nietzsche, yang mencakup sikap merayakan hidup dengan
segala sesuatu yang ada di dalamnya, dan keberpihakan ada energi-energi mabuk
khas Dionysian yang selama ini ditekan oleh agama dan moral tradisional. Di
sisi lain konsep itu juga bisa dilihat sebagai simbol dari kritiknya terhadap
modernitas, yang dianggap telah menyempitkan kekayaan diri manusia semata pada
akal budinya, dan telah memasung manusia menjadi subyek yang patuh pada tata
hukum dan moral yang mengikat daya-daya hidupnya. Pada hemat saya dengan konsep
kehendak untuk berkuasa, Nietzsche ingin membongkar kemunafikan manusia modern,
yang walaupun merindukan dan menghasrati kekuasaan, berpura-pura menolaknya,
karena alasan-alasan moral. Penolakan ini menciptakan ketegangan di dalam diri
manusia, karena ia sedang melawan dorongan alamiahnya sendiri. Ia menolak
kekuasaan namun menghasratinya. Tegangan yang tak terselesaikan ini
menghasilkan kemunafikan-kemunafikan yang amat gampang ditemukan di dalam
kehidupan sehari-hari manusia. Nietzsche mengajak kita untuk menerima diri kita
apa adanya, tidak menolak, atau bahkan mengutuk, apa yang sesungguhnya
merupakan dorongan alamiah kita sebagai manusia, yakni kekuasaan. Dengan
penerimaan semacam ini, kekuasaan tidak lagi menjadi destruktif, tetapi bisa
didorong sebagai kekuatan untuk mencipta.
Daftar pustaka
Jessicka Kuputri
201471060
Tidak ada komentar:
Posting Komentar